Selasa, 17 Mei 2011

Masalah Perbankan, Renten dan Fee dalam Pandangan Islam

03/14/2002 – Arsip Fiqh
Di dalam kehidupan modern ini, keberadaan bank ternyata sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi masyarakat luas. Mulai dari yang menabung, yang meminjam uang dan sampai kepada yang menggunakan jasanya untuk mentransfer uang dari satu kota atau negara kekota atau negara lain. Lalu, bagaimanakah pandangan Islam tentang perbankan? Ikuti dan simak kajian berikut ini!
Mengenai perbankan ini sebenaroya sudah dikenal kurang lebih 2500 sebelum masehi di Mesir Purba dan Yunani dan kemudian oleh bangsa Romawi. Perbankan modern berkembang di Itali pada abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai ke-Pausan dan perdagangan wol. Selanjutnya berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19.
Sesuai dengan fungsinya bank-bank terbagi kepada bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang dan bank sekunder, yaitu bank-bank yang tidak menciptakan uang, juga tidak dapat memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank urnum, tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan.
Kalau kita perhatikan bentuk hukumnya, maka struktur bank-bank di Indonesia adalah: bank-bank negara, bank-bank pemerintah daerah, bank-bank swasta nasional, bank-bank asing campuran dan bank-bank milik koperasi.
Dalam topik ini, ada dua masalah yang akan dibahas, yaitu bank dan rente, bank dan fee.

Pengertian Bank dan Rente
Bank menurut Undang-undarig Pokok Perbankan tahun 1967 adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang. Dari batasan tersebut jelas, bahwa usaha bank akan selalu
dikaitkan dengan masalah uang.
Di dalam Ensikiopedi Indonesia disebutkan bahwa Bank (perbankan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Selain dari itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.
Rente adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang lebih dikenal dengan istilah bunga. Oleh Fuad Muhammad Fachruddin disebutkan bahwa rente ialah keuntungan yang diperoleh perusahaan bank, karena jasanya meminjarnkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang
meminjam. Berkat bantuan bank yang meminjarnkan uang kepadanya, perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak.
Menurut Fuad Fachruddin, bahwa rente yang dipungut oleh bank itu haram hukumnya. Sebab, pembayarannya lebih dari uang yang dipinjarnkannya. Sedang uang yang lebih dari itu adalah riba, dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat dari segi lain, bahwa bank itu hanya tahu menerima untung, tanpa risiko apa-apa. Bank meminjarnkan uang, kemudian rentenya dipungut, sedang rente itu semata-mata menjadi keuntungan bank yang
sudah ditetapkan keuntungannya. Pihak bank tidak mau tahu apakah orang yang meminjam uang itu rugi atau untung.
Di dalam Islam dikenal ada doktrin tentang riba dan mengharamkannya. Islam tidak mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga terjadi perbedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai persoalan ini akan berakibat timbul kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal boleh tidaknya serta halal haramnya.

Dunia perbankan dengan sistem bunga (rente), kelihatannya semakin mapan dalam perekonomian modern, sehingga hampir tidak mungkin menghindarinya, apalagi menghilangkannya. Bank pada saat ini merupakan sesuatu kekuatan ekonomi masyarakat modern. Dari satu segi ada tuntutan keberadaan bank itu dalam masyarakat untuk roengatur lalu lintas keuangan, di lain pihak, masalah ini dihadapkan dengan keyakinan yang dianut oleh urnmat Islam, yang sejak awal kehadiran agama Islam telah didoktrinkan bahwa riba itu haram hukumnya. Pada saat dihararnkan, riba itu telah berurat berakar dalam masyarakat jahiliah yang merupakan pemerasan orang kaya terhadap orang miskin. Orang kaya bertambah
kaya dan orang miskin bertambah melarat.
Sebagian besar ulama membagi riba menjadi dua macam, yaitu:

1. Riba nasiah, yaitu riba yang terjadi karena ada penangguhan (penundaan) pembayaran utang.
2. Riba fadhl, riba yang terjadi karena ada tambahan pada jual beli benda atau bahan sejenis.
Untuk menentukan status hukum bermuamalah yang baik, masih banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama , di. antaranya:

1. Abu Zahrah, guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Abu A’la al-Maududi di Pakistan, Muhammad Abdullah al-’Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu (riba nasiah) dilarang oleh Islam oleh sebab itu urnmat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Di antara ulama tersebut, Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah “darurat atau terpaksa” tetapi secara mutlak beliau menghararnkan.
2. Mustafa Ahmad az-Zagra, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syariah di Damaskus mengernukakan, bahwa riba yang dihararnkan sepeiti riba yang berlaku pada masyarakat jahiliah, yang menipakan pemerasan terhadap orang yang lemah (miskin), yang bersifat konsurntif. Berbeda dengan yang bersifat produktif, tidak termasuk haram.
3. A. Hasan (Persatuan Islam) berpendapat bahwa bunga bank (rente), seperti yang berlaku di Indonesia, bukan riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud oleh firman Allah dalam surat Ali lmran: 130.
4. Majelis Tafjih Muhammadiah dalam muktamaroya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal haramnya. Sesuai dengan petunjuk Hadis Rasulullah kita harus berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yang masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dengan bank apabila dalam keadaan terpaksa saja.
Setelah kita perhatikan, dalam garis besarnya ada empat pendapat yang berkembang di kalangan ulama mengenai masalah riba ini, yaitu:

1. Pendapat yang menghararnkan.
2. Pendapat yang menghararnkan bila bersifat konsurntif, dan tidak haram bila bersifat produktif.
3. Pendapat yang mengatakan syubhat, boleh tapi dalam keadaan terpaksa.
4. Pendapat yang membolehkan (tidak haram).
Masing-masing kelompok yang berbeda pendapat itu, semua merujuk kepada nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Narnun dalam memahaminya dan menafsirkannya terjadi perbedaan pendapat.
Sebagai bahan kajian, di bawah ini disebutkan ayat-ayat yang berhubungan dengan riba.
Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
(Q. S. Ar-Rum: 39)
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, pudahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanyu, dan karena mereka memakan harta orang dengun jalan yang butil. Kami telah menyediakan untuk orang-orung yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
(Q. S. An-Nisa: 160-161)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keuntungan.”
(Q. S. Ali ‘Imran: 130)
Dalam ayat di atas sudah ada ketegasan tentang larangan memakan riba. Sebagian besar ulama berpendirian, bahwa riba yang dimaksud di sini adalah riba nasi’ah itu tetap haram selamanya, walaupun tidak berlipat ganda. Kata “berlipat ganda” dalam ayat tersebut, hanya menyatakan peristiwa (kejadian) yang pernah terjadi di masa jahiliah dan jangan dipahami mafhum mukhalafnya, yaitu sekiranya tidak berlipat ganda, berarti tidak haram (diperbolehkan).
“Orang-orung yang makan (mengumbil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukun syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan menghararnkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tahannya, lulu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang ita adalah penghuni-penghuni neraka: mereka kekal di dalamnya.”
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tahannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagirnu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atas semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(Q. S. Al-Baqarah: 275-280)
Oleh sebagian ulama seperti al-Maraghi dan as-Shabuni menyatakan, bahwa pengharaman riba diturunkan secara bertahap, sebagaimana keharaman khamar (minuman keras). Berturut-turut diturunkan ayat dalam surat Ar-Rum: 39, An-Nisa 160-161, Ali ‘Imran: 130 dan Al-Baqarah: 275-280.
Pada ayat 278 dengan tegas dinyatakan:
“Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).”
Dan pada ayat 279, dinyatakan
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu.”
Kalau masih ada sisa kelebihan yang belum dipungut, tidak boleh lagi dipungut, dan hanya dibenarkan memungut (menagih)
modalnya saja, tidak boleh lebih. Hal ini berarti, mengambil kelebihan itu tetap tidak boleh.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa walaupun ayat yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, ayat yang terakhir diturunkan, tetapi dalam menetapkan hukumnya tetap ada kaitannya dengan surat Ali ‘Imran: 130 yaitu haram hukumnya, sekiranya berlipat ganda.
Ada juga orang mempertanyakan, mengapapa dagang (pengusaha) yang mengambil kelebihan (keuntungan) lebih besar dapat dibenarkan, sedangkan bank yang memungut kelebihan yang hanya sedikit saja tidak dibenarkan? Mengenai hal ini, barangkali jawaban yang tepat ialah, bank tidak menanggung risiko rugi, walaupun kelebihan tidak banyak. Sedangkan pada dagang (jual beli), ada kemungkinan menanggung risiko rugi, karena dalam dunia dagang, tidak mesti terus-menerus beruntung. Pihak bank tidak mau tahu, apakah para peminjam rugi atau untung. Malahan
barang/jaminan pun dapat disita, disamping kerugian yang dideritanya.
Disamping ayat-ayat tersebut di atas, diperkuat lagi dengan keterangan beberapa hadits, seperti:
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Tiap-tiap pinjaman yang menarik suatu manfaat, adalah semacam riba.” (Al-Hadis).
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang pinjaman (piutang) yang menarik suatu manfaat.” (Al-Hadis).
“Tiap-tiap pinjaman (piutang) yang menarik manfaat adalah riba.” (Al-Hadis)
Sebagian ulama memandang, bahwa hadis tersebut di atas ada cacatnya. Hadis pertama mauquf dan hadis kedua dan ketiga cacat sanadnya.
lbnu Mas’ud berkata, yang artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW telah melaknat pemakan riba (orang yang memberi pinjaman), pemberi makannya (orang yang meminjam), dan dua orang saksi dan penulisnya. Jika mereka tahu yang demikian, maka mereka dilaknat dengan lidah Nabi Muhammad pada hari kiamat.”
(R. An-Nasa’i)
Sabda Nabi SAW, yang artinya:
“Sesungguhnya riba itu hanya riba nasi’ah saja.”
(HR. Bukhori).
Kendatipun di antara hadis itu ada yang dipandang lemah, tetapi jiwanya sejalan dengan ayat-ayat riba di atas.

Bank dan Fee (Pungutan Biaya Administrasi)
Mengenai pengertian bank sudah dijelaskandi atas. Di sini akan disinggung mengenai masalah fee. Fee maksudnya adalah pungutan dana untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional dan lain-lain. Adapun namanya, pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian, persoalannya tetap sama seperti uraian terdahulu, yaitu ada yang setuju dan ada pula yang menentangnya.
Bagi ulama yang membolehkan pungutan dana dan peminjam dan pemberian dana (uang jasa) kepada penabung (deposito), tidak ada masalah, bila bermuamalah dengan bank.
Akan tetapi bagi ulama yang menyatakan syubhat atau boleh bermuamalah dengan bank dalam keadaan darurat (terpaksa), masih mengundang pertanyaan. Sampai kapan masa darurat itu berakhir dan sampai kapan pemahaman syubhat itu hilang? Oleh sebab itu, perlu ada solusi, ada pemecahan masalah yang dihadapi oleh urnmat Islam mengenai perbankan ini. Salah-satu alternatif atau jalan keluarnya adalah mendirikan
Bank Islam. Mengenai masalah ini, akan diuraikan tersendiri.

Bank Islam
Dalam dunia usaha dan perdagangan, sukar orang menghindar dari perbankan karena via bank lebih mudah melakukan lalu lintas keuangan.
Tetapi.di sisi lain urnmat Islam dihadapkan kepada suatu ketentuan hukum yang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu apakah bermuamalah dengan bank itu sesuai dengap ajaran Islam atau tidak?
Keragu-raguan itu sedapat mungkin dihilangkan dan harus ada jalan keluar yang ditempuh, agar perekonomian yang dijalankan urnmat Islam, tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dianutnya.
Menyadari akan kenyataan ini, urnmat Islam telah berusaha mencari jalan keluarnya yaitu mendirikan Bank Islam karena Bank semacam ini menyediakan sarana bagi ummat Islam untuk melakukan kegiatan muamalah sesuai dengan ajaran Islam. Sarana yang tersedia pada Bank Islam adalah berupa fasilitas perbankan menurut ajaran Islam, baik untuk usaha yang produktif maupun investasi.
Di dalam buku Apa dan Bagaimana Bank Islam, oleh penulisnya disebutkan bahwa:

a. Bank Islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam untuk menghindar dari riba dalam kegiatan muamalahnya.
b. Bank Islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin melalui kegiatan muamalah yang sesuai dengan perintah agama.
c. Bank Islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam untuk mempunyai alternatif pilihan dalam mempergunakan jasa-jasa perbankan yang dirasakan lebib sesuai.
Kemudian ada perbedaan prinsip manajemen, antara Bank Islam dengan bank konvensional dalam mengharmonisasikan kepentingan penyandang dana, pemegang saham dan pemakai dana. Pada bank konvensional, kepentingan penyandang dana adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah memperoleh imbalan spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman. Kepentingan pemakai dana adalah biaya yang lebih murah berupa tingkat bunga yang rendah. Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan tersebut sulit diharmonisasikan.
Berbeda dengan Bank Islam, bahwa kepentingan penyandang dana pemegang saham, dan pemakai dana, dapat diharmonisasikan, karena
sistem bagi hasil. Masing-masing memperoleh imbalan bagi hasil sesuai dengan keadaan yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, manajemen bank berusaha mengoptimalkan keuntungan pemakai dana, karena pemakai dana itulah pada hakikatnya yang berdiri di barisan depan untuk mengelola dana yang dipinjarnkan oleh bank.
Pada dasarnya Bank Islam tidak menyalurkan dana secara langsung kepada pemakai dana, tetapi dalam bentuk barang yang
diperlukan dan pihak banklah yang mengeluarkan biayanya. Pemakai dana menunjuk langsung pemasok barang, dengan kualitas dan harga pantas yang berlaku di pasaran. Dalam keadaan tertentu, Bank Islam dapat menyalurkan dana dalam bentuk tunai kepada pemakainya, sebagai pelengkap dan jumlahnya lebih kecil dari modal yang berbentuk barang.
Sebagai ganti sistem bunga. Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba, antara lain ialah:

1. Mudharabah
Mudbarabah ialah suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dengan pengusaha. Pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan. Hasil usaha bersama ini dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama pada saat dibuat dan ditandatangani perjanjian. Umpamanya 60:40; 50:50. Sekiranya terjadi kerugian, yang bukan karena penyelewengan atau keluar dari kesepakatan, maka pemilik modal dan pengusaha, sama-sama menanggung rugi, yaitu rugi dana dan nigi tenaga (skill).
Pihak perbankan dan pengusaha biasanya lebih berhati-hati dalam menjalankan peran masing-masing.
Tata cara yang lebih rinci demikian:

a. Pihak bank menyediakan dana sepenuhnya untuk keperluan suatu proyek.
b. Pengusaha mengelola proyek itu tanpa campur tangan pihak bank, narnun diberi wewenang untuk mengawasi proyek tersebut.
c. Pihak bank dan pengusaha menetapkan bersama mengenai pembagian keuntungan.
d. Bila terjadi kerugian (di luar kemampuan manusia), maka pihak bank yang memikul risiko, sedang pihak pengusaha menanggung kerugian tenaga, pikiran, waktu dan managerial skill seita kehilangan keuntungan bagi hasil, yang seharusnya diperolehnya.
2. Musyarakah
Musyarakah ialah suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa orang (badan) pemilik modal untuk menyerahkan modalya pada suatu proyek. Keuntungan dibagi atas kesepakatan bersama, atau berdasarkan besar kecilnya modal masing-masing. Demikian juga mengenai kerugian yang diderita, dicantumkan dalam perjanjian kerja sama itu. Dalam masyarakat kita kenal dengan istilah patungan (joint venture). Bank di satu pihak dan pengusaha di pihak lain.
3. Murabahah
Murabahah ialah pembelian barang dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi.
Cara yang ditempuh ialah, pihak bank membelikan barang-barang yang diperlukan oleh nasabah, atas nama bank tersebut. Pada saat itu juga pihak bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga yang disetujui bersama dan akan dibayar dalam jangka waktu tertentu pula.
Dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu, harga tidak boleh berubah, walaupun di pasaran harga naik atau turun. Pada saat jatuh tempo, belum tentu pihak bank mendapat keuntungan, bila harga barang naik (inflasi). Demikian juga sebaliknya adakalanya nasabah yang rugi karena barang turun drastis.
4. Wadi’ah
Wadi’ah ialah titipan (uang, surat-surat barharga atau deposito). Pihak bank berkewajiban menjaga titipan itu dengan penuh amanah.
Di antara barang titipan itu, atas seizin penitip dapat dipergunakan (dimanfaatkan oleh pihak bank). Bila mendapat keuntungan dari pemanfaatan barang titipan itu, sepenuhnya menjadi milik bank. Bila sewaktu-waktu titipan itu diminta kembali, pihak bank harus mengembalikan sepenuhnya sesuai dengan yang tercantum dalam surat penitipan dan jangka waktu yang telah ditetapkan. Bila pihak bank memberikan bonus kepada para nasabahnya, tidak bertentangan dengan ajaran Islam asal tidak ada perjanjian sebelumnya. Hal ini sangat bergantung kepada pihak bank, berapa
yang pantas diberikannya.
Demikian gainbaran singkat yang dapat ditempuh, agar terhindar dari kemungkinan terlibat ke dalam riba yang dilarang oleh agama Islam, walaupun batas-batas yang dianggap riba masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Jalan yang lebih aman, adalah menempuh praktek muamalah
berdasarkan ajaran lslam, seperti Banklslam, yaitu BankMuamalat, BMT (Baitui Maal wat Tanwil), Baitui Qiradh, Baital Tanwil (BT), BPS Syari’ah dan nama-nama lainnya, yang beroperasi sesuai dengan syariat Islam.
Suatu sistem atau cara perbankan yang dibuat agar sesuai dengan syariat, tidaklah secara otomatis melabelkan halal 100 %. Hal ini tergantung kenyataan praktek di lapangan. Apabila kenyataan di lapangan para oknum-oknumnya sama dengan menggunakan sistem seperti bank konvensional ketika diluarnya, tentulah hukum haram dan yang masih diperdebatkan tetap berlaku padanya. Jadi perlu adanya keselarasan antara teori dan prakteknya di lapangan.
Bagi bangsa Indonesia, hal ini baru mulai berkembang dalam masyarakat dan belum memasyarakat di kalangan urnmat Islam. Dalam bermuamalah telah lama terbiasa dengan bank konvensional, yang dikenal selama ini. Pada suatu ketika, masyarakat akan dapat memahaminya dan
mengikutinya, bila temyata dilihatnya keberhasilan bank-bank atau lembaga-lembaga yang mengatur lalu lintas keuangan yang bercorak Islam yang sudah mulai hadir dalam masyarakat bangsa Indonesia. Lebih menarik sekarang telah terdengar, bahwa warga non muslim telah banyak yang terlibat di dunia perbankan dengan sistem Islam.
Daftar Pustaka:

1. Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama Rl.
2. Ensiklopedi Indonesia, lkhtiar Baru, Jakarta, 1980.
3. AI-Maraghi, Tafair al-Maraghi.
4. As-Shabuni M. Ali, Tafsir Ayatil Ahkam, Damaskus: Maktabah al-Ghazali.
5. Fuad Moh. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Bandung: PT al-Ma’arif, 1982.
6. Karnaen Purwaatmadja MPA dan Muhammad Syafi’i Antonio M. EC, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992.
7. Yusuf Qardhawi, Al-Halal wal-Haram, Beirut: Maktabah al-Islami.
8. Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1995
9. Muhammad Syaltut, Al-Fatawa, Kairo: Darul Qalam.
10. Yususf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
11. Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Sumber: Diadaptasi dari “Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan”, M. Ali. Hasan
www.alislam.or.id – www.pakdenono.com

sumber : http://ainuamri.wordpress.com/2007/10/24/masalah-perbankan-renten-dan-fee-dalam-pandangan-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar