Selasa, 28 September 2010

Pembuatan alur SIA dan flowchart pada PT. maju jaya

Definisi Sistem Informasi Akuntansi
Sistem informasi akuntansi adalah
serangkaian dari satu atau lebih komponen
yang saling berelasi dan
berinteraksi untuk mencapai suatu
tujuan, yang terdiri dari pelaku, serangkaian
prosedur, dan teknologi informasi.
(Romney&Steinbart, 2000)

Fungsi Utama Sistem Informasi
Akuntansi :
Ada 3 fungsi utama dari sistem
informasi akuntansi bagi perusahaan,
yaitu:
a. Mengumpulkan dan menyimpan data
dari semua aktivitas dan transaksi
perusahaan
b. Memproses data menjadi informasi
yang berguna dalam pengambilan
keputusan yang memungkinkan bagi
pihak manajemen untuk melakukan
perencanaan, mengeksekusi perencanaan
dan mengontrol aktivitas
c. Menyediakan kontrol yang cukup
untuk menjaga aset dari organisasi,
termasuk data. kontrol ini memastikan
bahwa data akan tersedia ketika
dibutuhkan dan data tersebut akurat
dan dapat dipercaya. (Romney &
Steinbart, 2000)

Tujuan Pengembangan Sistem
Informasi Akuntansi :
Salah satu tujuan dari pengembangan
sistem informasi akuntansi adalah
untuk menambah nilai bagi perusahaan.
Sistem informasi akuntansi dapat
memberi nilai bagi perusahaan dengan:
a. Informasi yang akurat dan tepat
waktu.
b. Penerapan sistem informasi akuntansi
yang meningkatkan kualitas dan
mengurangi biaya.
c. Meningkatkan pengambilan keputusan
yang tepat.
d. Meningkatkan pembagian pengetahuan
(knowledge sharing).

Subsistem Dasar dalam Sistem
Informasi Akuntansi :
Subsistem dasar dalam sistem informasi
akuntansi ada 5 siklus subsistem
yang terdiri dari pelaku, serangkaian
prosedur, dan teknologi informasi.
(Romney & Steinbart, 2000), yaitu:
a. Expenditure Cycle (Siklus Pembelian)
b. Production Cycle/Conversion Cycle
(Siklus Produksi)
c. Revenue Cycle (Siklus Penjualan)
d. Human Resource/Payroll Cycle (Siklus
Penggajian)
e. Financing Cycle (Siklus Keuangan)
Kelima siklus di atas memberikan
data transaksi pada General Ledger &
Reporting Systems (Siklus Pencatatan)
untuk pencatatan dan komunikasi
informasi. General Ledger & Reporting
Systems meliputi semua kegiatan yang
berhubungan dengan penyiapan laporan
keuangan dan laporan manajerial
lainnya, termasuk transaksi yang tidak
rutin dan jurnal penyesuaian yang
beraneka ragam. (Romney & Steinbart,
2000)


Proses dan Siklus Akuntansi :
Akuntansi adalah proses dari 3
aktivitas yaitu: mengidentifikasi, mencatat,
dan mengkomunikasikan kejadian
ekonomi dari sebuah organisasi. Proses
pertama adalah identifikasi, yaitu
aktivitas memilih kegiatan yang termasuk
kegiatan ekonomi. Proses kedua
adalah pencatatan, yaitu semua kejadian
ekonomi tersebut dicatat untuk menyediakan
sejarah dari kegiatan keuangan
dari organisasi tersebut. Proses ketiga
adalah komunikasi, informasi yang telah
didapat dari identifikasi dan pencatatan
tidak akan berguna bila tidak dikomunikasikan.
informasi ini dikomunikasikan
melalui persiapan dan distribusi dari
laporan akuntansi, yang paling umum
disebut sebagai laporan keuangan.

bagan flowchart :














Senin, 02 Agustus 2010

Ucapan Pada Hari Raya 'Ied

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Adapun ucapan selamat pada hari Raya ‘Ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah Shalat ‘Ied adalah, ‘TaqabbalallaHu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima amal kami dan kalian)’” (Majmuu’ al Fataawaa XXIV/253)

al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

“Dan kami riwayatkan di dalam Kitab al Mahaamiliyyat dengan sanad hasan dari Jubair Ibnu Nufair, dia berkata,

‘Para sahabat Rasulullah jika bertemu pada hari ‘Ied, sebagian mereka mengucapkan kepada sebagian lainnya, ‘TaqabbalallaHu minnaa wa minkum’” (Fathul Baari II/446)

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad pernah mengatakan,

“Aku pernah bersama Abu Umamah al Bahili dan lainnya dari Sahabat Nabi, dimana mereka jika kembali dari shalat ‘Ied, maka sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya, ‘TaqabbalallaHu minnaa wa minkum’” (al Mughni II/259)

Maraji’ :

Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya, Syaikh ‘Ali Hasan, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, Cetakan Pertama, Sya’ban 1426 H/September 2005 M.
(http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/10/ucapan-pada-hari-raya-ied.html)

Takdir sudah Ditentukan Lima Puluh Ribu Tahun Sebelum Langit dan Bumi Diciptakan

Definisi tentang iman dapat dilihat pada hadits shahih berikut ini, dari Umar bin Khaththab, bahwasannya Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda ketika ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman yaitu,

“Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab–kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan kepada takdir yang baik dan yang buruk” (HR Imam Muslim)

Salah satu cabang keimanan yang utama berdasarkan nash shahih di atas adalah bahwa beriman kepada takdir (qadar) yang Allah Ta’ala telah tetapkan kepada setiap hamba baik itu takdir baik maupun takdir buruk. Firman-Nya,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di Bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya” (QS. Al Hadid : 22)

Dan dari ayat di atas jelas Allah Ta’ala katakan bahwa takdir yang Allah Ta’ala berikan kepada setiap hambanya sudah ditentukan sebelum Allah Ta’ala menciptakan langit dan Bumi sebagaimana sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,

“Allah telah menulis (di Lauhul Mahfuzh) segenap takdir makhluk 50.000 tahun sebelum Ia menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim)

Termasuk apakah ia menjadi ahli surga atau neraka pun, Allah Ta’ala sudah tentukan 50.000 tahun sebelum alam semesta ini diciptakan. Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Maka demi Allah, yang tiada tuhan yang haq disembah melainkan Dia, sesungguhnya seseorang diantara kamu beramal dengan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dia dan surga kecuali sehasta, namun telah terdahulu ketentuan (takdir) Tuhan atasnya, lalu ia mengerjakan perbuatan ahli neraka, maka ia masuk ke dalamnya.

Dan sesungguhnya salah seorang diantara kamu beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dia dan neraka kecuali sehasta, namun telah terdahulu ketentuan (takdir) Tuhan atasnya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka ia masuk ke dalamnya” (HR. Imam al Bukhari dan Imam Muslim)

Pada hadits lain Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan telah dituliskan tempat duduknya, apakah ia termasuk penduduk neraka atau penduduk surga” (HR. Imam al Bukhari)

Maka dari itu Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (239 – 321 H) pada kitabnya Al Aqidah Ath Thahawiyah yang diberi ta’liq (komentar) oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan, “Semenjak dahulu kala Allah Ta’ala telah mengetahui berapa jumlah hamba-Nya yang akan masuk surga dan yang akan masuk neraka. Total dari jumlah itu tidak akan bertambah dan tidak akan pula berkurang”

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani memberikan komentar atas ucapan Imam Abu Ja’far Ath Thahawi ini sebagai berikut,

“Nampaknya Imam Ath Thahawi merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru, dia berkata, ‘Pernah suatu ketika Rasulullah ShallallaHu ’alaiHi wa sallam keluar menemui kami memegang 2 kitab … Kemudian sambil menunjuk kitab yang ada di tangan kanan,

Beliau ShallallaHu ’alaihi wa sallam berkata, ’Kitab ini berasal dari Tuhan Semesta Alam yang memuat nama–nama penduduk surga yang dilengkapi nama bapak–bapak dan nama–nama kabilah mereka. Kemudian Allah mengumpulkan mereka menjadi satu (dalam kitab ini). Jumlah nama–nama yang ada dalam kitab ini tidak akan bertambah maupun berkurang selama–lamanya’ (HR. At Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh Imam At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)”

Namun demikian, tidak ada seorangpun tahu apakah ia menjadi ahli surga atau ahli neraka karena hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahui perkara – perkara yang ghaib. Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah” (QS. An Naml 65)

Artinya walaupun seorang manusia apakah nanti takdirnya masuk ke dalam surga atau ke dalam neraka maka ia sebagai seorang hamba Allah wajib selalu berusaha mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala dan selalu meminta agar dimasukan ke dalam surga-Nya,

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang–orang yang bertakwa” (QS Al Imran 133)

Dan tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala walaupun hanya sebentar,

“Dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS Yusuf 87)

Juga dengan beriman kepada takdir Allah tidaklah berarti memberikan kesempatan kepada hamba untuk berdalih dengannya dalam meninggalkan perintah Allah atau melanggar apa yang dilarang-Nya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu” (QS At Taghabun 16), yang artinya seorang hamba tidak akan dibebani kecuali sebatas kemampuannya

Dan sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,

“Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan telah dituliskan tempat duduknya, apakah ia termasuk penduduk neraka atau penduduk surga”.

Maka berkatalah seorang laki–laki dari kaumnya, “Tidakah (dengan demikian) kita berserah diri saja, wahai Rasulullah ?”

Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam menjawab, “Tidak, tetapi berusahalah ! Karena masing – masing dimudahkan kepada (kententuan) penciptaannya” (HR. Imam al Bukhari)

Akhirnya dapat difahami bahwa hakekat takdir adalah rahasia Allah Ta’ala yang telah ditentukan atas hambanya sebelum Allah Ta’ala menciptakan seluruh isi langit dan Bumi dan sebagai manusia maka wajib bagi kita untuk selalu berusaha mencapai ketakwaan kepada Allah Ta’ala, karena pada hakekatnya Allah Ta’ala tidak membebani kewajiban yang mana kita tidak sanggup untuk memikulnya.

Dan takdir itu sendiri tidaklah diketahui oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun oleh Nabi yang diutus karena Allah Ta’ala telah menutup ilmu takdir dari makhluk–makhluk-Nya sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya,

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Al Anbiya’ 23)

Maraji’ :

40 Hadits Shahih, Imam An Nawawi, Direktorat Percetakan dan Penerbitan Departemen Agama Saudi Arabia, 1422 H.

Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, ta’liq oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, At Tibyan, Solo, Edisi Indonesia, November 2000 M.

Aqidah Thahawiyah, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, ta’liq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Media Hidayah, Cetakan Pertama, Mei 2005 M

Tauhid, Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif. Direktorat Percetakan dan Penerbitan Departemen Agama Saudi Arabia, 1422 H.
http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/10/takdir-sudah-ditentukan-lima-puluh-ribu.html)

Orang-orang yang Didoakan Malaikat

Allah Ta’ala berfirman,

“Sebenarnya (malaikat – malaikat itu) adalah hamba – hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah – perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberikan syafa’at melainkan kepada orang – orang yang diridhai Allah, dan mereka selalu berhati – hati karena takut kepada-Nya” (QS Al Anbiyaa’ 26-28)

Inilah orang – orang yang didoakan oleh para malaikat :

(1) Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci’” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

(2) Orang yang duduk menunggu shalat. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’” (Shahih Muslim no. 469)

(3) Orang – orang yang berada di shaf bagian depan di dalam shalat. Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

(4) Orang – orang yang menyambung shaf (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalm shaf). Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang – orang yang menyambung shaf – shaf” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

(5) Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu” (Shahih Bukhari no. 782)

(6) Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia’” (Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

(7) Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku ?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’” (Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

(8) Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’, bahwasannya Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’” (Shahih Muslim no. 2733)

(9) Orang – orang yang berinfak. Imam al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’” (Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

(10) Orang yang makan sahur. Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang – orang yang makan sahur” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

(11) Orang yang menjenguk orang sakit. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh” (Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

(12) Seseorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain” (dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)


Maraji’ :

Disarikan dari Buku Orang – orang yang Didoakan Malaikat, Syaikh Fadhl Ilahi, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005
(http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/10/orang-orang-yang-didoakan-malaikat.html)

Khatib Jum'at Berisyarat dengan Jari Telunjuk ketika Berdoa

Dari Abu Hushain, dari ‘Umarah bin Ruaibah radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,

“(Bahwa) ia pernah melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar (berdoa) sambil mengangkat kedua tangannya, lalu ia berkata (menegur Bisyr bin Marwan), ‘Semoga Allah memburukan kedua tangan ini, sesungguhnya aku pernah melihat Rasulullah (berdoa) tidak lebih beliau berbuat seperti ini’”. Kemudian ‘Umarah bin Ruaibah radhiyallaHu ‘anHu berisyarat dengan jari telunjuknya. (HR. Muslim 3/13, Kitab Jumu’ah, Bab Takhfifush shalat wal khutbah dan lainnya)

Dari hadits yang mulia ini dapat diambil pelajaran bahwa salah satu sunnah yang dilakukan oleh Khatib Jum’at adalah berdoa dengan menggunakan isyarat jari telunjuk bukan dengan mengangkat kedua tangan seperti yang sering dilihat oleh sebagian besar kaum muslimin di Indonesia ketika sedang mendengarkan khutbah Jum’at.

Lalu bagaimana dengan makmum shalat Jum’at apakah mengangkat tangan dan mengaminkan ? Jawabannya adalah tidak ada dalil yang kuat mengenai masalah tersebut kecuali dalil yang dha’if berikut ini,

Dari Zuhri, ia berkata, “Adalah Rasulullah apabila berkhotbah pada hari Jum’at, beliau berdoa dan berisyarat dengan jarinya sedangkan para sahabat mengaminkannya” (HR. Al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra 3/120)

Hadits ini dha’if karena Zuhri, orang yang meriwayatkan hadits ini bukanlah seorang sahabat sehingga hadits ini terputus (munqathi’), maka dari itu hadits ini tidak dapat dijadikan dalil ataupun sandaran syar’i, kecuali ada sanad lain yang menguatkannya.

Dengan demikian jalan yang lebih hati - hati dan mengikuti sunnah yaitu sebaiknya makmum shalat jum’at tidak mengangkat kedua tangan ataupun mengaminkan doa ketika Khatib Jum’at sedang berdoa. Wallahu a’lam.

Berkaitan dengan masalah ini Ibnu Abidin rahimahullah mengatakan, al Baqqaliyyu mengatakan, “Jika seorang khatib mulai berdoa maka tidak diperbolehkan bagi jama’ah mengangkat kedua tangannya” (Haasyiyah Ibnu Abidin, bab al Jumu’ah)

Tetapi dalam hal ini ada pengecualian yaitu ketika dalam khutbah Jum’at, khatib Jum’at membaca doa istisqa’ atau doa meminta hujan maka disunnahkan bagi khatib untuk mengangkat kedua tangan dan para jamaah Jum’at mengaminkan doa khatib tersebut sebagaimana hadits berikut,

“Nabi tidak mengangkat kedua tangannya sedikit pun dari doa beliau kecuali pada doa meminta hujan, sampai terlihat warna putih kedua ketiaknya” (HR. Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 895, dari Anas radhiyallaHu ‘anHu)

Juga keterangan lain yang berkaitan dengan doa istisqa’ dari Anas, ia berkata,

“…Rasulullah mengangkat tangan untuk berdoa dan jamaah pun mengangkat tangan mereka beserta Nabi, mereka berdoa …” (HR. Bukhari no. 1029, Kitab Istisqa’)

Maraji’ :

75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Syaikh Wahid ‘Abdus Salam Baali, Pustaka Al Inabah, Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Qa’dah 1426 H/Desember 2005 M.

Al Masaa-il Jilid 2, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darus Sunnah, Jakarta, Cetakan Ketiga, 1426 H/2005 M.

Al Masaa-il Jilid 4, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darul Qalam, Jakarta, Cetakan Pertama, 1425 H/2004 M.

Petunjuk Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dalam Khutbah Jum’at, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2004 M.
(http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/09/khatib-jumat-berisyarat-dengan-jari.html)

Kedudukan Hadits Dha'if

Berdasarkan sanadnya atau orang yang merawikannya maka oleh Imam Abu Isa At Tirmidzi (209 H – 279 H) derajat hadits dibagi menjadi 3 macam yaitu shahih, hasan dan dha’if. Sebelumnya pada era Imam Ahmad bin Hambal (164 H – 241 H) derajat hadits hanya dibagi 2 yaitu shahih dan dha’if, sedangkan hadits dha’if dibagi menjadi 2 lagi yaitu hasan dan dha’if.

Maka yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal membolehkan menggunakan hadits dha’if dalam fadhaa-ilul a’mal ataupun targhib wat tarhib adalah hadits dha’if yang hasan bukan hadits dha’if yang dha’if walaupun tingkat kedha’ifannya ringan. Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al Jauziyah.

Salah satu alasan yang kuat sebuah hadits dikatakan dha’if adalah karena ada salah seorang perawi hadits atau lebih memiliki kelemahan, diantara adalah orang tersebut hapalannya kurang kuat, memiliki sifat pendusta, majhul atau tidak diketahui identitasnya dan lain sebagainya. Berikut contoh haditsnya :

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Senantiasa Rasululullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berqunut pada shalat shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia” (HR. Ahmad, Baihaqi, Daruquthni, Hakim, Abdur Razzaq dan Abu Nu’aim)

Pada sanad hadits tentang qunut terus menerus pada waktu shalat shubuh di atas terdapat rawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi yang dilemahkan oleh para ahli hadits :

Imam Ahmad bin Hambal dan An Nasa’i berkata, “Ia (Ar Razi) bukan orang yang kuat riwayatnya”.

Imam Abu Zur’ah berkata, “(Ar Razi) banyak salahnya”

Imam Al Fallas berkata, “Ar Razi buruk hafalannya”

Imam Ibnul Madini berkata, “Ar Razi kepercayaan akan tetapi sering keliru dan suka salah” (Al Mizanul I’tidal 3 : 319)

Ibnu Hibban, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim telah melemahkan hadits Abu Ja’far Ar Razi ini.

Hadits yang kedua,

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “… Apabila engkau telah selesai berdoa, maka usapkanlah mukamu dengan kedua telapak tanganmu itu” (HR. Ibnu Majah no. 1181)

Hadits tersebut diatas dha’if karena ada seorang rawi bernama Shalih bin Hassan Al Nadhary. Tentang dia para ulama mengomentari :

Imam Bukhari berkata, “Mungkarul hadits (Orang yang diingkari haditsnya)”

Imam Abu Hatim berkata, “Mungkarul hadits, dha’if”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidak ada apa – apanya (maksudnya lemah)”

Imam An Nasa’i, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”

Imam Ibnu Ma’in, “Dia itu dha’if”

Imam Abu Dawud telah melemahkannya.

Kemudian hadits yang berikutnya,

Aisyah berkata, “Aku melihat Rasulullah ketika beliau hampir wafat, disisinya ada sebuah wadah berisi air, kemudian beliau memasukan tangannya ke dalam wadah tersebut, kemudian mengusap mukanya dengan air sambil membaca, ‘Ya Allah berilah pertolongan kepadaku dalam beratnya kematian atau sakaratul maut’” (HR. At Tirmidzi)

Hadits tersebut dha’if karena ada perawi yang bernama Musa bin Sarjis yang majhul atau yang tidak dikenal identitasnya. Disamping ada rawi yang majhul, matan (isi/redaksi) berbeda dengan hadits yang lain yang lebih shahih, Rasulullah bersabda, “Tidak ada Tuhan selain Allah, sesungguhnya bagi kematian itu adalah sakarat (rasa sakit yang sangat)” (HR. al Bukhari) (lihat Kitab Dha’if Sunan At Tirmidzi no. 164 dan Takhrij Riyaadhus Shalihin no. 912)

Demikian juga hadits yang isinya atau matannya bertentangan dengan Al Qur’an atau hadits yang lebih kuat periwayatannya maka hadits tersebut derajatnya dha’if, hadits ini juga sering disebut sebagai hadits syadz. Berikut contoh hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an yang terdapat Kitab Hayatush Shahabah,

Ketika Rasulullah kembali dari Thaif dan penduduknya yang telah beliau seru kepada Islam tapi mereka menolak dan menyakiti beliau. Beliau duduk dan berkata, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu lemahnya kekuatanku, sedikitnya usahaku dan hinanya aku atas manusia. Kepada siapa Engkau meninggalkanku ?, kepada musuh yang memandangku dengan muka masam ataukah …”.

Hadits tersebut di atas sangat bertentangan dengan Al Qur’an yaitu pada ayat, “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu” (QS Adh Dhuha ayat 3) maka dari itu hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits dha’if.

Termasuk dikategorikan hadits dha’if jika suatu hadits memiliki sifat mursal yaitu tabi’in meriwayatkan langsung dari Rasulullah seperti hadits berikut ini,

Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasannya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan, “Allahumma laka shumtu …” (HR Abu Dawud no. 2358, Baihaqi 4/239 dan lainnya)

Hadits tersebut di atas dikatakan mursal karena Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in bukan seorang sahabat, jadi ada sanadnya yang terputus antara sahabat dan tabi’in sehingga haditsnya dikategorikan dha’if.

Istilah hadits mursal hampir sama dengan hadits munqati’, namun bedanya hadits munqati’ ini terputus sanadnya di tengah seperti contoh hadits berikut,

Dari Hudzaifah bin Al Yaman ra. berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang yang duduk di tengah – tengah lingkaran majelis” (HR Abu Dawud).

Hadits tersebut di atas munqati’ karena seorang perawi Abu Mijlas Lahiq bin Umaid tidak mendengar langsung dari sahabat Hudzaifah radhiyallaHu ‘anHu sebagaimana yang diterangkan Ibnu Ma’in dan lainnya (Takhrij Riyadhush Shalihin no. 830)

Demikianlah beberapa alasan mengapa sebuah hadits dikatakan dha’if, dan masih ada beberapa alasan lain yang dapat menyebabkan suatu hadits jatuh kepada derajat dha’if, seperti rawinya seorang mudallis (menyembunyikan cacat hadits), atau rawinya memberikan ziyadah (tambahan, seperti tambahan pada doa setelah adzan, “innaka laa tukhliful mii’ad”) pada hadits tersebut dan lain sebagainya.

Namun demikian hadits dha’if tidak sampai kepada derajat hadits maudhu’ (palsu) karena sebagian besar orang – orang yang merawikan hadits – hadits dha’if adalah orang – orang shalih tetapi karena memiliki illat (penyakit/cacat) yang sudah dijelaskan sebelumnya maka tingkat kebenaran haditsnya dipertanyakan atau jatuh pada daerah zhan (prasangka) – yang berarti hadits tersebut bisa benar dan bisa salah.

Dan kaidah agama secara umum yang berkaitan dengan zhan atau sesuatu yang samar (belum jelas benar atau salahnya) adalah sebagai berikut :

(1) Firman Allah Ta’ala, “…Innazh zhanna laa yughnii minal haqqi syaiaa” yang artinya “… Sesungguhnya zhan (prasangka) itu tidak dapat menggantikan kebenaran sedikitpun” (QS Yunus 36)

(2) Sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berkata, “Sesungguhnya yang halal jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada hal yang samar – samar, (namun) kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari hal – hal yang samar – samar tersebut berarti dia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang jatuh dalam melakukan hal – hal yang samar – samar tersebut, maka dia terperangkap ke dalam hal yang haram” (HR. al Bukhari dan Muslim, Al ‘Arba’iin An Nawawiyyah)

Maka telah jelaslah bahwa hadits dha’if tidak dapat dijadikan hujjah ataupun dalil untuk diamalkan baik di dalam masalah ibadah, mu’amalah, adab, akhlak apalagi masalah aqidah !. Berikut nukilan perkataan muhadits dan mujaddid kontemporer Syaikhul Islam Muhammad Nashiruddin Al Albani,

“Menurut keyakinan saya, kita sudah cukup menggunakan hadits – hadits tersebut (shahih dan hasan) saja dan tidak perlu menggunakan hadits dha’if. Sebab hadits dha’if tidak dapat memberikan pengertian kecuali sebatas dugaan (zhan) saja. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama’. Seperti yang dikatakan oleh Allah Ta’ala, ‘…Innazh zhanna laa yughnii minal haqqi syaiaa’ yang artinya “ … Sesungguhnya zhan itu tidak dapat menggantikan kebenaran sedikitpun’ (QS Yunus 36)”.

Tetapi suatu hadits dha’if dapat naik derajatnya menjadi hasan jika ada hadits lain yang shahih, hasan ataupun yang sebanding yang menjadi penguat atau yang biasa disebut sebagai syawahiidnya. Namun bukan hadits dhaif, maudhu’ atau hadits mungkar yang menjadi penguatnya !.

Dan hadits dha’if yang telah diberikan penguat oleh hadits lain dengan matan yang semakna maka hadits tersebut naik statusnya menjadi hasan lighairihi atau hadits yang naik derajatnya menjadi hasan karena ada hadits lain sebagai penguatnya.

Contoh hadits dengan status hasan lighairihi adalah hadits tentang shalat tasbih dari jalan Abdullah bin Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadits no. 1297) dan Ibnu Majah (hadits no. 1386). Hadits ini awalnya dha’if namun karena ada penguatnya maka hadits ini naik menjadi hasan lighairihi. Diantara ulama’ yang menguatkan hadits ini adalah : Abdullah bin Mubarak, Imam An Nawawi, Al Baihaqi, As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Asqalani juga dikuatkan oleh ulama’ ahli hadits kontemporer seperti Ahmad Syakir dan Al Albani.

Perlu diperhatikan bagi orang–orang yang membaca atau menulis suatu hadits Rasulullah bahwa hadits–hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mereka tempatkan pada Kitab Shahih mereka maka hadits–haditsnya senantiasa shahih, namun hadits–hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka seperti oleh Imam At Tirmidzi, Imam Abu Daud, Imam An Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad dan lainnya ada yang tidak shahih meskipun sebagian besar hadits yang mereka riwayatkan adalah shahih.

Jadi ketika seseorang menulis suatu hadits yang diriwayatkan oleh selain Imam Bukhari dan Imam Muslim perlulah kiranya mencantumkan status haditsnya shahih, hasan atau dha’if dan lebih sempurna lagi jika disebutkan ulama’ yang menyebutkan statusnya tersebut.

Semoga Bermanfaat,

Maraji’:

Al Masaa-il, Abul Hakim bin Amir Abdat, Darul Qalam, Jakarta, Cetakan Kedua, Tahun 2004 M.

Hadits – hadits Dha’if Dalam Riyadhus Shalihin, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Pustaka Azam, Jakarta, Cetakan Pertama, Edisi Revisi, Tahun 1992

Meneladani Sifat Shalat Sunnah Rasulullah, Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, Cetakan Kedua, 2004 M

Sifat Shalat Nabi, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama, Tahun 2002 M

Taubat Dari Thariqat Sufi, Muhammad Jamil Zainu, Pustaka At Tibyan, Solo.
(http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/09/kedudukan-hadits-dhaif.html)

Doa Malam yang Mustajab

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ’alaiHi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bangun pada malam hari dan berkata,

‘Laa ilaHa illallaHu wahdaHu laa syariikalaH, laHul mulku wa laHul hamdu, , wa Huwa ‘alaa kulli syai-in qadiir, wal hamdulillaH, wa subhaanallaH, wa laa ilaHa illallaHu wallaHu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billaH’

[Tiada ilah kecuali Allah satu- satunya tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah seluruh kerajaan dan seluruh pujian. Dia menghidupkan dan mematikan dengan di tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah kecuali Allah dan Allah Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah]

kemudian dia berkata,

‘Allahummaghfirlii’ [Ya Allah ampunilah aku]

(atau dia berdoa), maka akan dikabulkan doanya. Dan jika dia berwudhu (lalu shalat) maka diterimalah shalatnya” (HR. At Tirmidzi dan lainnya, lihat pula di al Adzkar an Nawawi no. 307)
(http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/09/doa-malam-yang-mustajab.html)