Senin, 02 Agustus 2010

Kedudukan Hadits Dha'if

Berdasarkan sanadnya atau orang yang merawikannya maka oleh Imam Abu Isa At Tirmidzi (209 H – 279 H) derajat hadits dibagi menjadi 3 macam yaitu shahih, hasan dan dha’if. Sebelumnya pada era Imam Ahmad bin Hambal (164 H – 241 H) derajat hadits hanya dibagi 2 yaitu shahih dan dha’if, sedangkan hadits dha’if dibagi menjadi 2 lagi yaitu hasan dan dha’if.

Maka yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal membolehkan menggunakan hadits dha’if dalam fadhaa-ilul a’mal ataupun targhib wat tarhib adalah hadits dha’if yang hasan bukan hadits dha’if yang dha’if walaupun tingkat kedha’ifannya ringan. Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al Jauziyah.

Salah satu alasan yang kuat sebuah hadits dikatakan dha’if adalah karena ada salah seorang perawi hadits atau lebih memiliki kelemahan, diantara adalah orang tersebut hapalannya kurang kuat, memiliki sifat pendusta, majhul atau tidak diketahui identitasnya dan lain sebagainya. Berikut contoh haditsnya :

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Senantiasa Rasululullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berqunut pada shalat shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia” (HR. Ahmad, Baihaqi, Daruquthni, Hakim, Abdur Razzaq dan Abu Nu’aim)

Pada sanad hadits tentang qunut terus menerus pada waktu shalat shubuh di atas terdapat rawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi yang dilemahkan oleh para ahli hadits :

Imam Ahmad bin Hambal dan An Nasa’i berkata, “Ia (Ar Razi) bukan orang yang kuat riwayatnya”.

Imam Abu Zur’ah berkata, “(Ar Razi) banyak salahnya”

Imam Al Fallas berkata, “Ar Razi buruk hafalannya”

Imam Ibnul Madini berkata, “Ar Razi kepercayaan akan tetapi sering keliru dan suka salah” (Al Mizanul I’tidal 3 : 319)

Ibnu Hibban, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim telah melemahkan hadits Abu Ja’far Ar Razi ini.

Hadits yang kedua,

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “… Apabila engkau telah selesai berdoa, maka usapkanlah mukamu dengan kedua telapak tanganmu itu” (HR. Ibnu Majah no. 1181)

Hadits tersebut diatas dha’if karena ada seorang rawi bernama Shalih bin Hassan Al Nadhary. Tentang dia para ulama mengomentari :

Imam Bukhari berkata, “Mungkarul hadits (Orang yang diingkari haditsnya)”

Imam Abu Hatim berkata, “Mungkarul hadits, dha’if”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidak ada apa – apanya (maksudnya lemah)”

Imam An Nasa’i, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”

Imam Ibnu Ma’in, “Dia itu dha’if”

Imam Abu Dawud telah melemahkannya.

Kemudian hadits yang berikutnya,

Aisyah berkata, “Aku melihat Rasulullah ketika beliau hampir wafat, disisinya ada sebuah wadah berisi air, kemudian beliau memasukan tangannya ke dalam wadah tersebut, kemudian mengusap mukanya dengan air sambil membaca, ‘Ya Allah berilah pertolongan kepadaku dalam beratnya kematian atau sakaratul maut’” (HR. At Tirmidzi)

Hadits tersebut dha’if karena ada perawi yang bernama Musa bin Sarjis yang majhul atau yang tidak dikenal identitasnya. Disamping ada rawi yang majhul, matan (isi/redaksi) berbeda dengan hadits yang lain yang lebih shahih, Rasulullah bersabda, “Tidak ada Tuhan selain Allah, sesungguhnya bagi kematian itu adalah sakarat (rasa sakit yang sangat)” (HR. al Bukhari) (lihat Kitab Dha’if Sunan At Tirmidzi no. 164 dan Takhrij Riyaadhus Shalihin no. 912)

Demikian juga hadits yang isinya atau matannya bertentangan dengan Al Qur’an atau hadits yang lebih kuat periwayatannya maka hadits tersebut derajatnya dha’if, hadits ini juga sering disebut sebagai hadits syadz. Berikut contoh hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an yang terdapat Kitab Hayatush Shahabah,

Ketika Rasulullah kembali dari Thaif dan penduduknya yang telah beliau seru kepada Islam tapi mereka menolak dan menyakiti beliau. Beliau duduk dan berkata, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu lemahnya kekuatanku, sedikitnya usahaku dan hinanya aku atas manusia. Kepada siapa Engkau meninggalkanku ?, kepada musuh yang memandangku dengan muka masam ataukah …”.

Hadits tersebut di atas sangat bertentangan dengan Al Qur’an yaitu pada ayat, “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu” (QS Adh Dhuha ayat 3) maka dari itu hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits dha’if.

Termasuk dikategorikan hadits dha’if jika suatu hadits memiliki sifat mursal yaitu tabi’in meriwayatkan langsung dari Rasulullah seperti hadits berikut ini,

Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasannya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan, “Allahumma laka shumtu …” (HR Abu Dawud no. 2358, Baihaqi 4/239 dan lainnya)

Hadits tersebut di atas dikatakan mursal karena Mu’adz bin Zuhrah adalah seorang tabi’in bukan seorang sahabat, jadi ada sanadnya yang terputus antara sahabat dan tabi’in sehingga haditsnya dikategorikan dha’if.

Istilah hadits mursal hampir sama dengan hadits munqati’, namun bedanya hadits munqati’ ini terputus sanadnya di tengah seperti contoh hadits berikut,

Dari Hudzaifah bin Al Yaman ra. berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang yang duduk di tengah – tengah lingkaran majelis” (HR Abu Dawud).

Hadits tersebut di atas munqati’ karena seorang perawi Abu Mijlas Lahiq bin Umaid tidak mendengar langsung dari sahabat Hudzaifah radhiyallaHu ‘anHu sebagaimana yang diterangkan Ibnu Ma’in dan lainnya (Takhrij Riyadhush Shalihin no. 830)

Demikianlah beberapa alasan mengapa sebuah hadits dikatakan dha’if, dan masih ada beberapa alasan lain yang dapat menyebabkan suatu hadits jatuh kepada derajat dha’if, seperti rawinya seorang mudallis (menyembunyikan cacat hadits), atau rawinya memberikan ziyadah (tambahan, seperti tambahan pada doa setelah adzan, “innaka laa tukhliful mii’ad”) pada hadits tersebut dan lain sebagainya.

Namun demikian hadits dha’if tidak sampai kepada derajat hadits maudhu’ (palsu) karena sebagian besar orang – orang yang merawikan hadits – hadits dha’if adalah orang – orang shalih tetapi karena memiliki illat (penyakit/cacat) yang sudah dijelaskan sebelumnya maka tingkat kebenaran haditsnya dipertanyakan atau jatuh pada daerah zhan (prasangka) – yang berarti hadits tersebut bisa benar dan bisa salah.

Dan kaidah agama secara umum yang berkaitan dengan zhan atau sesuatu yang samar (belum jelas benar atau salahnya) adalah sebagai berikut :

(1) Firman Allah Ta’ala, “…Innazh zhanna laa yughnii minal haqqi syaiaa” yang artinya “… Sesungguhnya zhan (prasangka) itu tidak dapat menggantikan kebenaran sedikitpun” (QS Yunus 36)

(2) Sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berkata, “Sesungguhnya yang halal jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada hal yang samar – samar, (namun) kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari hal – hal yang samar – samar tersebut berarti dia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang jatuh dalam melakukan hal – hal yang samar – samar tersebut, maka dia terperangkap ke dalam hal yang haram” (HR. al Bukhari dan Muslim, Al ‘Arba’iin An Nawawiyyah)

Maka telah jelaslah bahwa hadits dha’if tidak dapat dijadikan hujjah ataupun dalil untuk diamalkan baik di dalam masalah ibadah, mu’amalah, adab, akhlak apalagi masalah aqidah !. Berikut nukilan perkataan muhadits dan mujaddid kontemporer Syaikhul Islam Muhammad Nashiruddin Al Albani,

“Menurut keyakinan saya, kita sudah cukup menggunakan hadits – hadits tersebut (shahih dan hasan) saja dan tidak perlu menggunakan hadits dha’if. Sebab hadits dha’if tidak dapat memberikan pengertian kecuali sebatas dugaan (zhan) saja. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama’. Seperti yang dikatakan oleh Allah Ta’ala, ‘…Innazh zhanna laa yughnii minal haqqi syaiaa’ yang artinya “ … Sesungguhnya zhan itu tidak dapat menggantikan kebenaran sedikitpun’ (QS Yunus 36)”.

Tetapi suatu hadits dha’if dapat naik derajatnya menjadi hasan jika ada hadits lain yang shahih, hasan ataupun yang sebanding yang menjadi penguat atau yang biasa disebut sebagai syawahiidnya. Namun bukan hadits dhaif, maudhu’ atau hadits mungkar yang menjadi penguatnya !.

Dan hadits dha’if yang telah diberikan penguat oleh hadits lain dengan matan yang semakna maka hadits tersebut naik statusnya menjadi hasan lighairihi atau hadits yang naik derajatnya menjadi hasan karena ada hadits lain sebagai penguatnya.

Contoh hadits dengan status hasan lighairihi adalah hadits tentang shalat tasbih dari jalan Abdullah bin Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadits no. 1297) dan Ibnu Majah (hadits no. 1386). Hadits ini awalnya dha’if namun karena ada penguatnya maka hadits ini naik menjadi hasan lighairihi. Diantara ulama’ yang menguatkan hadits ini adalah : Abdullah bin Mubarak, Imam An Nawawi, Al Baihaqi, As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Asqalani juga dikuatkan oleh ulama’ ahli hadits kontemporer seperti Ahmad Syakir dan Al Albani.

Perlu diperhatikan bagi orang–orang yang membaca atau menulis suatu hadits Rasulullah bahwa hadits–hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mereka tempatkan pada Kitab Shahih mereka maka hadits–haditsnya senantiasa shahih, namun hadits–hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka seperti oleh Imam At Tirmidzi, Imam Abu Daud, Imam An Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad dan lainnya ada yang tidak shahih meskipun sebagian besar hadits yang mereka riwayatkan adalah shahih.

Jadi ketika seseorang menulis suatu hadits yang diriwayatkan oleh selain Imam Bukhari dan Imam Muslim perlulah kiranya mencantumkan status haditsnya shahih, hasan atau dha’if dan lebih sempurna lagi jika disebutkan ulama’ yang menyebutkan statusnya tersebut.

Semoga Bermanfaat,

Maraji’:

Al Masaa-il, Abul Hakim bin Amir Abdat, Darul Qalam, Jakarta, Cetakan Kedua, Tahun 2004 M.

Hadits – hadits Dha’if Dalam Riyadhus Shalihin, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Pustaka Azam, Jakarta, Cetakan Pertama, Edisi Revisi, Tahun 1992

Meneladani Sifat Shalat Sunnah Rasulullah, Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, Cetakan Kedua, 2004 M

Sifat Shalat Nabi, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama, Tahun 2002 M

Taubat Dari Thariqat Sufi, Muhammad Jamil Zainu, Pustaka At Tibyan, Solo.
(http://diserambimesjid.blogspot.com/2009/09/kedudukan-hadits-dhaif.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar