Pertama, Dua hari raya (‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha)
Dari Abu ‘Ubaid, budak yang dimerdekakan Ibnu Azhar, ia berkata,
“Aku merayakan hari ‘Ied bersama ‘Umar bin al Khaththab, kemudia dia berkata,
‘Ini adalah dua hari yang Rasulullah melarang kita untuk berpuasa padanya, hari dimana kalian berbuka puasa dan hari lainnya, hari dimana kalian memakan hewan kurban kalian’” (HR. al Bukhari no. 1990, Muslim no. 1137, Abu Dawud no. 2399, at Tirmidzi no. 769 dan Ibnu Majah no. 1722)
Kedua, Hari Tasyriq
Hari Tasyriq adalah hari setelah ‘Iedul Adha, namun para ulama telah berselisih pendapat apakah dia dua hari atau tiga hari.
Dari Aisyah radhiyallaHu ‘anHa dan Ibnu ‘Umar radhiyallaHu ‘anHu, mereka berkata,
“Tidak diizinkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (di Mina saat ibadah Haji)” (HR. al Bukhari no. 1977)
Ketiga, Puasa Hari Jum’at saja
Dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Janganlah seorang diantara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya” (HR. al Bukhari no. 1985, Muslim no. 1144, Abu Dawud no. 6403 dan at Tirmidzi no. 740)
Keempat, Puasa Hari Sabtu saja
Dari ‘Abdullah bin Busr as Sulami radhiyallaHu ‘anHu, dari saudarinya ash Shamma radhiyallaHu ‘anHa, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Laa tashuumuu yaumas sabti illaa fiimaf turidha ‘alaykum, wa in lam yajid ahadukum illaa lihaa-a ‘inabatin aw ‘uuda syajaratin falyamdhughHaa”
yang artinya,
“Janganlah kalian berpuasa pada Hari Sabtu, kecuali yang telah diwajibkan atas kalian. Jika salah seorang diantara kalian tidak meendapatkan (makanan untuk berbuka) kecuali kulit anggur atau ranting pohon, maka hendaklah ia mengunyahnya” (HR. Abu Dawud no. 2404, at Tirmidzi no. 741 dan Ibnu Majah no. 1726, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 2116)
Kelima, Pertengahan kedua pada Bulan Sya’ban khusus bagi mereka yang tidak mempunyai kebiasaan berpuasa.
Dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Jika telah sampai pertengahan Bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa” (HR. Abu Dawud no. 2320, at Tirmidzi no. 735 dan Ibnu Majah no. 1651, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 1339)
Dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali jika orang itu tengah mengerjakan suatu puasa yang biasa dilakukan, maka hendaklah ia puasa pada hari itu” (HR. al Bukhari no. 1914, Muslim no. 1082, Abu Dawud no. 2318, at Tirmidzi no. 680, an Nasai IV/149 dan Ibnu Majah no. 1650)
Maraji’:
Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2, Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Syawwal 1426 H/November 2005 M.
Semoga Bermanfaat.
Catatan Tambahan :
Selain yang berkaitan dengan waktu atau hari, terdapat pula hal-hal yang menyebabkan seorang muslim dilarang untuk melakukan puasa, yaitu :
Pertama, puasa selamanya, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Laa shaama man shaamal abada” yang artinya “Tidak ada puasa bagi orang yang puasa selamanya” (HR. al Bukhari no. 1979 dan Muslim no. 1159)
Kedua, seorang muslimah dilarang berpuasa sunnah kecuali dengan izin dari suaminya. Dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Laa tashumil mar-atu wa ba’luHaa syaaHidun illaa bi idzniHi” yang artinya “Tidak dibolehkan seorang istri berpuasa di saat suaminya di rumah kecuali dengan izinnya” (HR. al Bukhari no. 5192, Muslim no. 1026, Abu Dawud no. 2141, at Tirmidzi no. 779, dan Ibnu Majah no. 1761)
Senin, 02 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar